Senja Di Cafe Puncak

Senja itu candu. Indikasinya menghilangkan sendu nan mendatangkan rindu. Dan mengadu keluh kesah pada senja itu menyenangkan, sekaligus menenangkan.

Pada November lalu, saya diamanahkan untuk produktif dengan serangkaian kegiatan dengan jarak waktu yang berdekatan. Maka setelah semuanya selesai dan saat ada tawaran jalan-jalan, saya seketika meng-iyakan ajakan teman-teman, walaupun di hari yang sama adalah pertemuan terakhir kelas kajian. “Selamat datang liburan”, gumam saya dalam hati dengan perasaan yang penuh kesyukuran. Saya menyebutnya self-appreciation-time yang sayang untuk dilewatkan.

Pagi itu, saya dan ketiga teman, berangkat dari Makassar dengan cuaca yang cerah. Sembari mengabari teman-teman yang akan kami kunjungi bahwa kurang lebih satu sampai dua jam lagi kami akan tiba. Hampir setiap bulan, Kabupaten Maros sukses menjadi magnet kami untuk berkunjung dan bertemu. Selain karena jaraknya yang tidak begitu jauh dari Makassar, juga banyak opsi tempat dan kuliner yang menjadi rekomendasi dari teman-teman kami yang banyak berdomisili disana.  

Diluar prediksi, awan mendung, hujan deras dan pemadaman listrik menyambut kedatangan kami di rumah salah satu teman kami tersebut. Keluarganya yang ramah dan aroma nasi kuning yang khas siap menjadi pelengkap pertemuan kami saat itu. Dan benar saja, nasi kuning porsi besar dengan berbagai jenis lauk disajikan khusus kepada kami dan boleh kami bawa pulang masing-masing.

“Setelah ini mau langsung pulang? Ayok deh ke Rammang-rammang”, seru salah satu dari kami yang sontak membuyarkan situasi yang hening. Setelah menyadari bahwa cuaca sudah bersahabat kembali, kami terlibat diskusi singkat terlebih dahulu. Dan selepas Ashar, kami akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Pun tidak sah rasanya jika belum memiliki dokumentasi bersama.  

Wisata Rammang-rammang ini adalah tempat yang kali kedua saya kunjungi. Suasanya tak banyak berubah dari tahun 2017 saat kunjungan pertama saya ke tempat ini. Bedanya, situasinya lebih sepi oleh karena pandemi. Hanya ada kami, beberapa pengunjung dan warga lokal. Karena sudah sore dan tidak membawa budget yang banyak, kami hanya berjalan kaki menyusuri sudut-sudut tempat untuk mencari spot-spot foto yang bagus. Jalanan becek dan berlumpur tidak mengurangi keindahan panorama sore itu. 

Setelah cukup lelah dan dahaga, teman kami yang bagaikan menjadi tour guide dadakan menawari kami untuk rehat sejenak. Masih dari kawasan wisata Rammang-rammang, ada salah satu cafe yang katanya menjadi icon tempat wisata ini. Namanya, Cafe Puncak. Dari kejauhan, tempatnya cukup unik. Dan benar saja, setelah menuju ke cafe tersebut, kami harus menaiki beberapa anak tangga yang cukup terjal. Ada kisah menarik yang diceritakan oleh teman saya terkait mitos tempat ini. Konon, bagi yang sedang berpacaran, setelah berkunjung ke cafe, ini maka kisah cintanya akan putus. Namun bagi yang sudah menikah, kisah cintanya akan langgeng. Ah, ada-ada saja ya. 

Kaki pegal dan napas yang cepat seketika hilang oleh apa yang saya lihat sesampainya saya dan teman-teman di puncak. Saya mengambil posisi duduk yang cukup dekat dengan teman-teman. Sembari menunggu pesanan cemilan dan minuman, saya mengamati pelayan cafĂ© yang sangat sigap membawakan pesanan pengunjungnya yang mayoritas dari mereka adalah perempuan. Pemandangan alam Maros, angin sepoi-sepoi dan senja yang akan menampakkan pesonanya dalam hitungan menit lagi sukses menyita perhatian saya. Saya seketika merubah posisi duduk dengan membelakangi teman-teman sejenak, menarik napas, menutup mata dan menyebut asma-Nya. Sembari mensyukuri nikmat bahwa It’s the best place and moment  for healing.

Suara tarhim masjid pun menjadi alarm untuk pulang. Dengan memastikan bahwa tidak ada makanan dan minuman kami yang tersisa. Dan sebelum berjuang kembali untuk menuruni anak tangga, saya berbisik pamit pada langit senja: “jika berezeki lagi, saya janji akan datang lagi”.

Komentar