Yes! Saya Sudah Divaksin

“Antrian 1370 hingga 1380 silahkan menuju area pendaftaran”, suara lantang pemandu kegiatan memecah keheningan GOR Universitas Hasanuddin. Saya melirik kertas nomor antrian dan memprediksi giliran saya tidak akan lama lagi. Siang itu, saya dan beberapa peserta vaksinasi sudah memenuhi tribun yang sengaja dipersiapkan sebagai ruang tunggu. Dari kejauhan, para Tim Satgas Covid-19 selaku panitia penyelenggara tampak berjaga dan memastikan kegiatan tersebut tetap berjalan sesuai protokol kesehatan. 

Tepat seminggu setelah pemeriksaan swab berkala kedua, saya ikut serta dalam Vaksinasi Massal Bagi Tenaga Kesehatan. Kegiatan vaksinasi yang saya ikuti tersebut diadakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Makassar dan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, dengan melibatkan tenaga-tenaga kesehatan dari berbagai latar belakang profesi. Kegiatan yang berselang dua minggu ini memiliki alur yang tidak jauh berbeda, baik di hari pertama maupun di hari kedua.

Ada tiga tahap yang harus saya jalani sebelum mendapatkan vaksinasi. Tahap pertama adalah pendaftaran, yang persyaratannya wajib membawa kartu tanda penduduk  (KTP) untuk dilakukan verifikasi nomor induk kependudukan, yang secara tidak secara langsung saya pun memperkenalkan diri sebagai ahli gizi dari salah satu rumah sakit swasta di Makassar. Selanjutnya, saya beralih ke meja skrining. Dua petugas menyambut saya dengan ramah, yang secara bergantian mereka melakukan pemeriksaan fisik dan wawancara. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan  memastikan suhu tubuh dan tekanan darah saya normal. Sedangkan untuk wawancara, kurang lebih ada enam belas poin yang ditanyakan kepada saya, yang bertujuan untuk memastikan bahwa saya tidak memiliki keluhan apa-apa. 

Setelah memenuhi syarat, saya menuju meja penyuntikan. Petugas yang berbeda menenangkan saya dengan edukasi singkatnya. Dengan hati-hati, petugas pun menyuntikkan vaksin tersebut secara intramuscular di bagian lengan kiri atas sebanyak 0,5 ml per dosis. Setelah selesai, saya diarahkan ke area observasi dan diharuskan menunggu terlebih dahulu selama tiga puluh menit. Jika tidak ada keluhan atau efek samping berlebih, saya sudah diperbolehkan pulang. 

“Apa yang kamu rasakan?”, pertanyaan ini cukup banyak mencecar saya setelah mendapatkan vaksin tersebut. Saya pernah mendapatkan vaksinasi Hepatitis sebelumnya, yang jika dibandingkan dengan efek setelah vaksinasi Covid-19 sebenarnya tidak jauh berbeda. Saya hanya merasakan kram di area bekas suntikan dan suhu tubuh yang hangat namun tidak berlangsung lama. Bagi sebagian besar teman-teman, mayoritas keluhan dari mereka adalah kantuk dan lapar. Yang sebenarnya hal tersebut wajar saja karena memang disebabkan oleh adanya peningkatan aktivitas imunitas dan antibodi sehingga tubuh membutuhkan energi yang besar.

Secara pribadi, saya mengapresiasi adanya vaksinasi sejak Bapak Menteri Kesehatan membawa ‘angin segar’ bahwa kegiatan tersebut akan dilakukan secara bertahap yang terlebih dahulu menyasar tenaga kesehatan sebagai kelompok rentan. Bukan tanpa alasan, saya menjadi saksi bahwa masa pandemi ini menjadi tantangan terbesar bagi tenaga kesehatan khususnya yang mengabdikan diri di fasilitas-fasilitas layanan kesehatan, dengan tidak sedikit yang dilaporkan gugur dan tumbang bergejala. Di Indonesia sendiri, persenan penduduk yang telah terpapar virus tersebut telah mencapai 80% dengan gejala ringan dan 20% dengan gejala berat. Itu artinya peran tenaga kesehatan masih terus dibutuhkan untuk menekan angka kesakitan dan kematian.

Sayangnya, baik di lingkungan keluarga maupun tenaga kesehatan sendiri, vaksinasi masih menjadi momok yang menakutkan. Ada yang tidak terbiasa terpapar oleh alat medis dan tidak sedikit yang masih meragukan efek dari vaksin tersebut. Menurut dr. Tirta, vaksin ini sudah teruji secara klinis dan memiliki savety issue yang bagus serta telah dibuktikan di tiga negara dengan efikasi yang juga bagus. Selain itu dijelaskan pula oleh Beliau bahwa vaksin tersebut tidak sepenuhnya dapat mencegah penularan. Namun jika terpapar maka gejalanya hanya ringan, karena sebelumnya tubuh telah memiliki kekebalan tubuh alami tiga sampai empat kali lipat dibandingkan jika tidak mendapatkan dan melakukan vaksin sama sekali.

Suatu hari, saya terlibat diskusi singkat dengan teman-teman secara virtual dengan topik yang serius namun tetap ringan. Kami saling berbagai pandangan tentang pemeriksaan sampai vaksinasi Covid-19 ini. Kesimpulannya, di tengah informasi-informasi yang beredar dari sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, menjadi reminder bagi saya dan teman-teman selaku kelompok yang paham dan awam untuk wajib memilah dan memilih bahan dan berita edukasi yang tepat. Kami juga sempat membahas tentang istilah herd immunity yang saat ini sedang gencar-gencarnya disosialisasikan. Menurut pakar kesehatan, meskipun herd immunity belum bisa diprediksi akan berhasil sepenuhnya, namun besar harapan kami bahwa konsep ini dapat menjadi pelindung bagi orang-orang yang telah mendapatkan vaksinasi maupun bagi orang-orang tidak bisa mendapatkan vaksinasi.

Untuk itu, melalui tulisan ini, saya mengajak siapapun untuk dapat melakukan perubahan. Dengan tidak takut untuk memeriksakan diri demi menyukseskan tracing contact, tidak abai terhadap protokol kesehatan, tidak lupa menjaga hygine personal, tidak tabu untuk mengonsumsi makanan-makanan sehat dan tidak lengah dalam menjalankan aktivitas fisik yang tentu sesuai anjuran. Termasuk vaksinasi yang telah menjadi sebaik-baik bentuk ikhtiar untuk menjaga diri, keluarga dan orang-orang terdekat. Maka, sebagai ahli gizi saya siap mengambil peran dalam kelompok barisan pencegahan. Khoirunnas anfa’ahum linnas, bukankah sebaik-baiknya manusia adalah yang memberi manfaat bagi manusia lainnya?

***

Tulisan ini diikutkan dalam #TantanganBlogAM2021

Komentar

  1. Nice. Tulisannya kece, berbagi pengalaman sekaligus mengedukasi. Sukses selalu Uchiii. Semoga lebih banyak yg berbagi melalui media tulisan. ❤️❤️

    BalasHapus
  2. Masya Allah.. Barakallaah yaa chisay.. 🤗

    BalasHapus
  3. Makasih sudah nulis ini. Jadi tereduksi khawatir dan takut vaksin. Ada gambaran nyata gitu pengalaman dan pandangan lain.

    BalasHapus

Posting Komentar