Berperan Walau Bukan Terdepan: Kisah Petugas Gizi Rumah Sakit
Setiap hari Selasa pagi, ruang pertemuan selalu menjadi titik kumpul sebelum kami bertugas di ruangan masing-masing. Morning report pagi ini dipimpin oleh dr. Fara selaku Direktur SDM dan Pelayanan Rumah Sakit yang siap mendengarkan keluh, saran dan masukan dari kami, para penanggung jawab unit layanan. Dan untuk memenuhi kewajiban seperti biasanya, saya hadir sebagai perwakilan unit gizi yang bertugas selaku penanggung jawab secara langsung. Memang, selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga new normal oleh karena pandemi, fasilitas kesehatan beserta tenaga kesehatan yang ada di dalamnya, menjadi salah satu instansi yang tetap wajib beroperasi dan wajib berperan serta untuk menunjukkan eksistensi dalam menjalankan tugas manusiawi.
Selama kurang lebih empat tahun bekerja di rumah sakit, masa pandemi ini pula menjadi salah satu tantangan terbesar saya dalam mengabdi. Suatu malam saat pertemuan secara daring oleh tim gizi, saya kembali memberi gambaran bahwa fokus pelayanan kami adalah pada pelayanan Dietetik dan Penyelenggaraan Makanan, yang keduanya saat ini memiliki pergeseran dan perubahan standar operasional. Sebenarnya rumah sakit tempat saya bekerja ini bukan merupakan rumah sakit rujukan penanganan coronavirus disease 2019 (Covid-19), namun pasien-pasien kami tetap mendapatkan pelayanan sesuai prosedur standar, yang saya yakin juga diberlakukan di semua instansi atau fasilitas kesehatan.
Tidak sedikit dari pasien-pasien kami terkonfirmasi setelah dilakukannya skrining, namun mereka harus tetap dilayani dengan mengacu pada Pedoman Pencegahan Penyakit Infeksi (PPI) Rumah Sakit. Tekhusus untuk asuhan gizi, saya dan teman ahli gizi tidak melakukan pengkajian gizi pasien secara langsung, melainkan hanya meminta data dari perawat yang bertugas atau melihat informasi dari berkas rekam medis yang secara aturan itu dibenarkan. Untuk penyelenggaraan makanan, alat makan yang digunakan adalah alat makan yang sekali pakai (disposible) yang salah satu tujuannya untuk mengurangi akses teman-teman pramusaji memiliki kontak langsung dengan pasien dan lingkungannya. Tentu, pemakaian alat makan tersebut mengalami peningkatan penggunaan sehingga menambah biaya dari unit kami sendiri. Sesekali, saya mendapat laporan dari teman-teman yang bertugas seperti: “Kak, hasil pemeriksaan PCR pasien reaktif, dan alat makan non disposible-nya sudah terlanjur terpakai”.
Oleh karena gambaran-gambaran tersebut yang cukup sering dijumpai sepanjang jam dinas, maka manajemen rumah sakit mengumumkan akan dilakukannya pemeriksaan kesehatan berkala bagi tenaga kesehatan dan non kesehatan yang terlibat di dalamnya. Meskipun gratis, swab PCR cukup membuat saya pada saat itu dilema untuk mau melakukannya. Mulai dari cemas akan rasa sakitnya sampai waswas terhadap hasil pemeriksaan nantinya. Namun, saya cukup percaya diri oleh berbagai ‘alat tempur’ yang sudah sengaja dipersiapkan seperti vitamin, obat, segala jenis minyak, dan air hangat.
Post pemeriksaan swab, tantangan terberat dalam pekerjaan kembali terjadi. Saya mengingat betul bagaimana dr. Ali pada malam itu menelpon saya untuk mengabarkan hasil pemeriksaan yang tentu sudah beliau ketahui terlebih dahulu. Beliau pun secara spontan dapat menebak kepanikan yang saya rasakan oleh suara saya yang parau di ujung telepon. Pertama, beliau mengatakan bahwa dua orang ahli gizi termasuk saya memiliki hasil non-reaktif (-) yang disusul dengan informasi bahwa kesemua pramusaji memiliki hasil reaktif (+) berstatus OTG atau tanpa gejala. Meskipun begitu, tetap mengharuskan mereka untuk melakukan isolasi mandiri sesegera mungkin.
Saat itu psikologi saya down, mental leadership pun seketika diuji. Saya mencoba tetap berada di situasi tenang sembari meyakinkan teman-teman yang lain pada saat itu bahwa semua akan baik-baik saja. Imbasnya, mulai keesokan hari sampai empat belas hari kedepannya, saya harus lembur dan tidak libur. Dan untuk pertama kalinya bagi saya dan teman selaku ahli gizi, harus mem-backup pekerjaan-pekerjaan mereka seperti mengantar makanan dan mengambil alat makan habis pakai sembari menunggu pramusaji pengganti.
“Oke atur baik-baik nah”, kata dr. Ali menenangkan. Peran dr. Ali saat itu memang tidak berhenti sebagai pembawa kabar, namun beliau memantau dengan rutin progress kerja kami yang tak lupa menyakinkan kepada saya untuk bisa survive. Dan setelah mencoba memaknai yang telah terjadi, sungguh hari itu bukanlah hari-hari yang berat. Melainkan hari-hari yang baik. Hanya saja, saat itu anginnya lagi kencang dan kerikilnya lagi banyak. Wasyukurillah, nikmat-Nya pun beriringan tanpa batas. Maa qadarullah fii khair.
Seiring berjalannya waktu, pola dan tim kerja akhirnya kembali berangsur normal. Dan saat itu pula, kami membuat kesepakatan untuk ingin lebih memperketat amunisi yang tentu harus sepaket dengan alat pelindung diri (APD) yang harus segera difasilitasi. Tentu sebagai penanggung jawab, saya memiliki kewajiban untuk menyegerakan permintaan ini sebagai upaya memenuhi kebutuhan unit kami. Sebelum kondisi tim terpapar, sebenarnya APD yang kami gunakan adalah APD standar pada umumnya, bahkan saat itu saya dan teman-teman hanya memakai masker kain bahkan celemek yang berbahan plastik sekali pakai.
Atas beberapa pertimbangan, APD untuk gizi akhirnya mengalami kenaikan level. Saat ini, kami sudah memiliki jubah yang dicuci setiap harinya, masker bedah yang distok setiap minggunya untuk pemakaian harian, celemek plastik menjadi outer dan pelapis jubah, dengan tambahan faceshiled atau kacamata sebagai alternatif jika gerah. Jika dibandingkan dengan kakak-kakak yang berjuang di Wisma Atlet dan teman-teman di rumah sakit-rumah sakit rujukan, resiko paparan kami memang sedikit lebih rendah. Namun, inilah bentuk-bentuk ikhtiar saya dan tim untuk tidak boleh lelah juga lengah.
Banyak yang berpendapat, new-normal akhirnya menjadi fase second-wave yang menjadi tambahan tugas baru bagi seluruh stakeholders yang terlibat, meskipun sebenarnya ini merupakan fase first-wave yang belum berkesudahan. Secara grafik gambaran kasus, penanganan penyakit ini khususnya di Indonesia memang masih menjadi sorotan. Yang bukan lagi hanya menyasar para tenaga kesehatan yang mulai tumbang bergejala namun klaster perkantoran, pertokoan, bahkan pernikahan mulai dilaporkan. Bapak Menteri Kesehatan memberi angin segar bahwa vaksinasi akan dilakukan dengan memprioritaskan tenaga kesehatan, walau masih banyak yang belum paham sehingga menimbulkan polemik penolakan.
Tekhusus sebagai petugas gizi saat ini, saya bisa memetik berbagai pelajaran dan hikmah kehidupan. Bahwa pandemi, mengajarkan saya untuk semakin menghargai pekerjaan. Pandemi, menjadi kondisi untuk mau memilih bertahan atau tidak makan. Pandemi, menjadi sebaik-baik pengingat syukur untuk selalu dipanjatkan. Masih segar dalam ingatan, Bapak Dr. Nadimin yang merupakan salah satu guru besar gizi pernah berpesan. Petugas gizi atau ahli gizi harus selalu unggul dan memiliki daya saing tinggi di masa depan. Sebagai amanah profesi yang tentu harus senantiasa diaplikasikan. Pun dituntut untuk bersinar dengan kompetensinya dan harus mendapat pengakuan.
Walaupun gizi hanya menjadi pelayanan penunjang, namun saya dan teman-teman sejawat siap berada di barisan terdepan jika dibutuhkan. Bukankah sekecil apapun kebaikan harus selalu ditebarkan, dalam sekecil apapun juga bentuk kontribusi dalam menjalankan peran. Mengikut dengan sebuah harapan, semoga kita selalu dalam lindungan Tuhan.
***
Nb: Tulisan ini dibuat untuk mengikuti kompetisi Cendikiawan-19 dalam rangka Hari Gizi Nasional 2021 yang diadakan oleh Ikatan Sarjana Gizi Indonesia. Alhamdulillah, tulisan ini mendapat apresiasi sebagai juara favorit tepat di hari ulang tahun saya, 17 Februari. Semoga tulisan ini bisa menginspirasi teman-teman, khususnya sejawat ahli gizi.
Komentar
Posting Komentar