Garda Terdepan
Suara
sirine memecah keheningan parkiran di Senin pagi. Saya menyapa Pak Romi yang sudah
rapi dengan hazmat putih dan tampak memastikan
kelengkapan ambulans sebelum merujuk pasien ibu dan bayi hari ini. Segelas kopi
dan sepiring pisang goreng hangat sengaja disiapkannya sebagai amunisi. Walau
dengan gurat wajah yang sedikit gerah, saya hampir tak pernah mendengarkan keluh
yang terucap melainkan rasa syukur yang tak pernah abai. Beliau yang sudah
berusia lima puluh tahun ini, menjadi salah satu yang jasanya tak dapat dimungkiri
walau baru bekerja setahun lebih di rumah sakit kami. Di lantai dua ruang emergency, saya melihat empat perawat
berseragam senada sedang sigap menerima instruksi. Ada yang mengecek saturasi,
dan ada yang membetulkan infus dengan hati-hati. Dokter jaga bertugas memberi
edukasi serta menuliskan satu per satu kertas-kertas resep yang harus
dilengkapi. Di ruang yang berbeda, ibu-ibu
cleaning service melakukan sterilisasi
ruangan sekurang-kurangnya dua kali dalam sehari. Serta makanan untuk pemenuhan
kebutuhan selama masa perawatan juga secara rutin diantarkan oleh pramusaji di
bawah pengawasan saya dan tim sebagai ahli gizi.
Berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan khususnya pada masa Pembatasan Sosial Berskala
Besar, bahwa fasilitas pelayanan seperti perekonomian, keamanan, kebutuhan
pangan sampai kesehatan termasuk rumah sakit dinilai wajib untuk tetap beroperasi.
Maka, beberapa langkah pun dibentuk secara internal oleh manajemen rumah sakit dan
saya pun dilibatkan dalam tim pencegahan dan pengendalian infeksi.
Program-program dan standar operasional prosedur disusun dan diajukan ke direksi,
termasuk usulan dan rencana melakukan berbagai sosialisasi. Di tempat yang
berbeda, saya melihat kondisi pemutusan hubungan kerja besar-besaran di saat
ada yang harus menjadi tulang punggung keluarga dan tidak sedikit yang sedang
kuliah sambil bekerja, yang seketika melumpuhkan aktivitas dan memaksa
orang-orang untuk mengembangkan kreativitas, yang sungguh merupakan sebuah
kondisi ironi di masa pandemi.
Tagar #NewNormal yang
beralih dari himbauan #DiRumahAja menjadi pertimbangan pemerintah agar masyarakat
dapat beraktivitas seperti sedia kala. Khususnya di rumah sakit tempat kami bekerja,
dimana saya dan teman-teman tenaga kesehatan maupun tenaga non kesehatan ibarat
pahlawan di film-film perjuangan, melakukan tindakan respon cepat tanggap dalam
bekerjasama untuk menguatkan imun dan iman. Seperti mengonsumsi vitamin sesuai anjuran, menggunakan
alat pelindung diri (APD) standar walau dalam kondisi terbatas, menghindari
untuk berkunjung ke tempat-tempat keramaian jika tidak ada kepentingan
mendesak, serta mendekatkan diri kepada Tuhan sebagai sang Maha Pelindung dan
Penjaga. Sayangnya, masyarakat justru masih terkesan tidak mendisiplinkan diri
terhadap protokol-protokol kesehatan. Sederhananya, tidak sedikit saya
menjumpai para pengendara jalan yang tidak menggunakan masker bahkan menebar asap
rokok tanpa merasa berdosa yang tentu akan mengganggu pengguna jalan lain jika
terpapar. Rasa cemas dan waswas turut saya rasakan saat harus menjalani
pemeriksaan swab sebagai skrining wajib dalam upaya memastikan
tenaga kesehatan tetap aman bagi masyarakat dalam memberikan pelayanan, walau saya
harus menahan sakit dan harus siap dengan konsekuensi hasil pemeriksaan. Namun
di waktu yang bersamaan, saya membaca berita dan mendengar informasi secara
langsung bahwa masyarakat justru secara terang-terangan menolak pemeriksaan serupa
seperti rapid test dengan segala
bentuk ancaman. Ini adalah gambaran-gambaran keresahan di tengah meningkatnya
jumlah kasus di provinsi Sulawesi Selatan menjelang akhir September 2020 ketika
angkanya sudah mencapai 15.295 kasus yang terkonfirmasi menurut data dari Kementerian
Kesehatan.
Suatu hari saya berkesempatan
untuk berkomunikasi dengan salah seorang sahabat saya yang bertugas di salah
satu daerah terpencil Sulawesi Barat. Seperti biasa, kami saling memastikan kabar
satu sama lain. Komunikasi berlanjut tentang suka duka bekerja sebagai tenaga
kesehatan yang baginya khusus di masa pandemi ini cukup berat tantangannya. Ia
mengeluhkan penggunaan alat pelindung diri (APD) medis yang dipakai tidak
sesuai sasaran, seperti penggunaan sarung tangan atau handscoon oleh masyarakat biasa
salah satunya. Selain itu, ia dan teman-temannya terpaksa menggunakan jas
hujan sepanjang jam dinas dengan akses dan harga yang lebih terjangkau. Ia juga
menyayangkan diskriminasi warga jika ada pasien yang terduga terinfeksi sampai
ia harus terlibat langsung untuk pemulasaran jenazah. Maka, ia berharap besar
pada pemerintah dan pemangku jabatan untuk tidak lepas tangan terhadap para
tenaga kesehatan yang sedang berjuang habis-habisan. Ia pun menambahkan bahwa
sesungguhnya garda terdepan pada masa pandemi ini adalah masyarakat awam, meski
mereka tidak bergelut dengan pasien secara langsung. Bahkan menurutnya, baik Puskesmas
maupun rumah sakit, kesemuanya merupakan tempat terakhir jika masyarakat sudah
sakit. Oleh karenanya, pandemi bukan hanya tanggung jawab bagi tenaga kesehatan
namun juga bagi seluruh sektor yang justru harus terlibat peran. Komunikasi pun
ditutup dengan sebuah pesan dan pengingat yang tak lupa disampaikan oleh
sahabat saya: “jaga kesehatanmu nah, baik-baik disana”.
Saya sepakat dengan sebuah
pesan viral dari dokter Michelle Au, seorang spesialis anastesi dari rumah
sakit di Amerika Serikat yang menegaskan bahwa: “We are not the frontline in this battle. We as healthcare workers
standing the back. We’re the last line of defense. The frontline of this
epidemic is you, the people in the community, tasked with the challenge of
keeping each other safe”. Ia berkesimpulan bahwa tenaga medis bukanlah
garis terdepan dalam penanganan penyakit di situasi wabah seperti ini. Ia
menambahkan dan mengingatkan kepada seluruh masyarakat agar tetap menjaga
jarak, memilih tinggal di rumah, serta mencuci tangan sebagai upaya pencegahan
agar virus semakin tidak menyebar secara luas.
Walau pandemi diramalkan akan berakhir tahun depan, namun apresiasi
sebesar-besarnya tidak hentinya diberikan sebagai bentuk penghormatan. Salah
satunya berupa lagu Gugur Bunga khususnya bagi para tenaga kesehatan yang harus
berpulang atau yang masih berjuang di benteng pertahanan. Maka terlepas dari
tudingan konsipirasi, berita kontroversi yang tidak sedikit harus
diklarifikasi, menjadi ‘cambuk’ terhadap kami untuk semakin menjalankan amanah
sesuai etika profesi. Terkhusus bagi saya yang belum banyak berkontribusi.
Padamu negeri, kami siap berbakti.
***
Nb: Tulisan ini dibuat dalam rangka berpartipasi dalam pembuatan buku "Bagimu Negeri Kami Beraksi" yang telah resmi rilis dalam acara Temu Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas. Sebuah kehormatan mewakili angkatan dan instansi dimana berada diantara satu dari 16 penulis lainnya yang merupakan kakak-kakak dan teman-teman alumni. Ini adalah draft tulisan saya yang asli sebelum dikirim dan dimodif oleh tim redaksi kala itu hehehe. Selengkapnya bisa baca dan beli via ebook ya :)
Komentar
Posting Komentar