Pandemi: Pengingat Syukur

Cuaca cukup terik. Suasana kompleks masih sepi. Padahal ini hari Senin. Selama pandemi, kampus dan sekolah diliburkan. Saya menjadi satu-satunya anggota keluarga yang beraktivitas di luar rumah. Pagi itu Mama sudah terjaga dari selepas shalat Subuh, tidak dengan ponakan-ponakan yang masih terlelap nyenyak di bawah selimut hangatnya. Jaket merah jambu bermotif bunga telah saya kenakan. Ransel warna senada pun dicek agar tidak ada barang bawaan wajib yang ketinggalan. Sepatu hitam dan helm merah bergambar lebah sudah siap di teras rumah. Sembari menunggu Bapak ojek online membunyikan klakson motornya sebagai aba-aba bahwa ia telah tiba. 

“Rumah sakit tidak libur ya, Mbak?” Bapak ojek online memulai percakapan. Di perjalanan, kami akhirnya terlibat diskusi singkat. Saya sedikit menjelaskan bahwa layanan kesehatan menjadi salah satu tempat yang tidak dinonaktifkan sesuai instruksi pemerintah. Saya pun memberanikan diri dengan menimpali dengan pertanyaan yang sama. “Ikut kebijakan perusahaan saja, Mbak. Karena perusahaan kami termasuk patuh dengan aturan, termasuk selama PSBB ini”, jawab Bapak ojek online dengan nada pasrah.

Makassar menyusul kota besar lainnya menerapkan ‘Pembatasan Sosial Berskala Besar’. Atas pertimbangan pemerintah, PSBB bertujuan sebagai langkah untuk mencegah adanya kontaminasi. Seiring data dari Dinas Kesehatan yang menunjukkan kasus penyebaran penyakit oleh pandemi yang semakin meningkat. Cemas, waswas, mawas diri yang berbaur bak satu paket. Work- from-home (WFH) mendadak telah menjadi rutinitas baru bagi mayoritas para pekerja. Terkecuali kami, yang tetap harus bekerja dari rumah sakit. Walau tidak merasakan dampak pemutusan kerja, tapi resiko kerja di luar rumah tentunya lebih besar. Saya beruntung, instansi kami menerapkan protokol yang ketat untuk melindungi tenaga kerjanya yang masih menjalankan amanah sebagai garda terdepan. Masker, hand-sanitizer dan alat pelindung diri (APD) pendukung lainnya menjadi amunisi. Sistem imun dan doa menjadi pintu dan pinta yang tidak berhenti untuk dijaga serta dilangitkan.

Sejak saat yang bersamaan, tak sedikit yang memastikan tentang kabar sampai menanyakan tentang informasi lowongan pekerjaan. Pun setiap pulang ke rumah, saya selalu disuguhi cerita tentang meja makan yang selalu penuh di jam makan siang. Tentang Mama yang banting sertir menjajakan jualan lumpia goreng yang selalu laku dalam jumlah banyak. Sebenarnya, momen yang tak kasat mata ini menjadi reminder bagi saya, bahwa selain dibalik segala sesuatu yang pasti akan ada hikmahnya, juga esensi kebahagiaan itu sesungguhnya berupa bentuk, baik rezeki oleh materi maupun non materi.  Jadi muhasabahnya, yang tetap kerja, bersyukur. Yang dirumahkan, harus bersyukur. Bukankah jika demikian, Allah akan tambahkan nikmatnya?!   

***

Nb: Tulisan ini dibuat dan diterbitkan dalam rangka memenuhi ‘Undangan Menulis’ dari penerbit mlaku! Tentang Rezeki di Pandemi

Komentar