PAMIT
Pukul 17.30 wita. Senja mulai
menampakkan pesonanya. Rindu duduk
sejenak sembari mengadu lelah. Memandang atap-atap rumah yang statis, melihat
jauh burung kecil yang bertebaran, menikmati irama daun pepohonan yang bergerak
sepoi dari balik jendela. Mengingat seberapa banyak kebaikan yang telah dituai,
merenungi seberapa cukup ibadah sebagai bekal pulang bertemu ilahi, menyadari
tentang kematian yang pasti sebagai pengingat dari Tuhannya.
”Hei, yuk pulang! Penjemputmu
sebentar lagi tiba”. Lamunan Rindu
sontak buyar. Ia pun langsung beranjak dari kursinya. Bergegas mematikan lagu Goodbye Days – Rui yang tidak selesai
didengarkannya, mengecek kembali barang bawaan sambil membetulkan buku-buku
yang masih berantakan di atas meja.
Seperti hari-hari sebelumnya,
langkah Rindu selalu terhenti di lantai
dua. Memandang lekat punggung yang selalu tak kuasa ia sapa. Namun, suasana
menjelang petang itu mendadak berbeda. Dengan jarak dekat, ada senyum dari arah
yang tidak disangka. Dengan sensasi henti detak, ada oleh-oleh berupa harapan
yang bisa dibawa pulang walau secercah. Sepertinya tidak ada yang sia-sia dari
usaha dalam melangitkan doa. Walau pada pinta yang selalu sama. Semoga menjadi
sebaik-baik pertanda. Sungguh, Rindu tidak
ingin kehilangan lagi untuk kesekian kalinya,
***
Komentar
Posting Komentar