Fase “Babak Belur”
Selamat datang bulan penghujung tahun. Maafkan ketidak-produktifan saya belakangan ini. Maafkan karena ingkar janji pada beberapa orang yang ingin membaca tulisan saya lagi (karena secara tidak langsung mereka memberi inspirasi).
Kuliah-kerja
sebulan belakangan memang memasuki puncak kesibukan, nyaris dari weekdays sampai weekend minim istirahat, hiburan, juga liburan. Jauh sebelum
mengambil keputusan untuk menjalankan kedua tanggungjawab ini sekaligus, sudah
menyiapkan mental bahwa that’s one of the
consequence that i will get, dan itu kenyataan! Sempat mau menyerah dan
bilang: “Allah, saya ga sanggup!” Tapi, ada-ada saja moodbooster-nya dan ada-ada saja sumber semangat dari arah yang
tidak disangka-sangka. Apalagi, Alhamdulillah menjalankan amanah di tempat
kerja sudah 2 tahunan lebih dan kuliah juga sudah menjelang finishing semester 2 (yang sebentar lagi
masuk semester 3), jadi tidak ada alasan kuat untuk merengek ingin melepas
salah satunya.
Faktanya,
kuliah sambil kerja itu: keren. Secara tidak sadar, itu bisa menaikkan kualitas
diri. Bonusnya, jika bidang pekerjaan linier dengan backround pendidikan kita, percayalah bahwa di kedua-dua tempat
tersebut kita bisa dapat feedback ilmunya,
hal sederhananya adalah ilmu yang saya dapat di kampus bisa saya aplikasikan di
rumah sakit, pun sebaliknya. Tapiii, faktanya lagi, setelah dijalani ternyata
kuliah-kerja tidak semenyenangkan yang dibayangkan. Tantangan terbesarnya
adalah manajemen waktu, dan saya
sangat-sangat keteteran untuk urusan ini. Selain itu rentetan tugas dari dosen yang terkadang bikin nyerah duluan pas liat
list-to-do nya: berhubung kita di
kelas cuman berempat, sebuah tugas yang idealnya adalah tugas kelompok, maka jadilah
tugas individu. Challenge nya lagi,
belum selesai satu tugas, kemudian tugas lainnya mesti di-revisi, setelah
revisi, re-presentase lagi, sampai dianggap lulus. Prioritas juga kadang membuat saya dilema berat jika lagi-lagi bertepatan
di waktu yang sama serta hal-hal yang mesti dikorbankan satu sama lain mengikut
pertimbangan risiko-risikonya. Di sisi lain, psikologis
juga harus diuji dengan sambil memikirkan untuk tetap produktifnya kita dalam
urusan kerjaan. Tentu, semua menguras tenaga dan segala-galanya. Apalagi tak
dipungkir bahwa: sesungguhnya ilmu tidaklah didapatkan dengan jasad yang
santai.
***
Maaf ini bukan
sebuah keluhan bahkan luput dari kesyukuran, hanya sekedar curahan hati saja agar
tidak saya pikul sendirian. Sambil merenungi saya pun sadar, bahwa betapa baiknya
Allah atas adanya waktu dan finansial yang diberikan sehingga saya bisa menjadi
‘orang pilihan’ untuk menjalankan keduanya. Dilemanya, sempat berada di puncak
situasi antara harus menyerah atau tetap lanjut walau risikonya akan sangat kewalahan
(lagi). Lelah? “iya, sangat”. Tapi setiap ingin berhenti, hati meminta untuk
berjuang lagi. Merenung kembali: “masa iya cuman segini?” dan maka saya memilih
tetap kembali. Indeed, Allah maha
membolak-balikkan hati.
Sumber
kekuatan ajaib dan mujarab untuk saat ini adalah doa Mams, lingkungan keluarga ‘pro
pendidikan tinggi & menjunjung tinggi produktivitas’ serta dukungan dari
teman-teman dekat. Maka, bagi yang merasakan hal yang sama, semoga tidak mudah rapuh
dan give-up seperti yang saya rasakan.
Semoga Allah meggantikannya dengan pahala mengikut segala kemudahan dan
kelancaran. Semoga ini menjadi ’cambuk´ buat saya agar bisa bersyukur dalam
situasi apapun. Bismillahirrahmanirrahim!
Komentar
Posting Komentar