Kerja Sambil Kuliah? Begini Sensasinya
Sore tadi, akhirnya kerjaan beres
di lebih 5 menit dari jam pulang. Dua hari berturut-turut, unit kerja kami juga
memang kena imbas dari hectic-nya
pasien. Untuk itu, hari yang melelahkan ini harus dibayar dengan segelas thai
tea dingin, yang juga sebagai moodbooster
ampuh di hari pertama ‘red-day’ untuk
bulan ini. Maka, jadilah cafe rumah sakit yang akhirnya menjadi tempat
persinggahan sebelum saya pulang. Novel yang berjudul A Little Thing Called Hope pun tidak lupa saya bawa untuk sengaja menemani.
Setelah cukup puas nongkrong selama
15 menit, saya pun berganti masker, memastikan semua barang sudah masuk ke
ransel, dan akhirnya memesan ojek online tujuan ke rumah.
Me time singkat dan sendirian memang cukup sering saya lakukan dan sudah menjadi kebiasaan favorit saya. Namun semenjak aktivitas yang cukup padat sampai 3 bulan belakangan, saya sudah jarang menikmati quality time atau mengapresiasi diri dengan liburan atau sekedar nonton film baru di bioskop. Dan itu semenjak saya membuat salah satu keputusan yang berat dalam hidup saya adalah dengan: kerja sambil kuliah.
Me time singkat dan sendirian memang cukup sering saya lakukan dan sudah menjadi kebiasaan favorit saya. Namun semenjak aktivitas yang cukup padat sampai 3 bulan belakangan, saya sudah jarang menikmati quality time atau mengapresiasi diri dengan liburan atau sekedar nonton film baru di bioskop. Dan itu semenjak saya membuat salah satu keputusan yang berat dalam hidup saya adalah dengan: kerja sambil kuliah.
Di tahun ini, resolusi jangka
pendek saya Alhamdulillah terealisasi. Atas izin Allah, saya bisa lanjut kuliah
lagi, setelah 4 (empat) tahun pasca kelulusan strata 1 tepat di September 2014
lalu. Memutuskan untuk menjalankan aktivitas secara bersamaan yang amanahnya
sama penting, adalah hal yang tidaklah mudah. Mengikut dengan segala
konsekuensi jangka panjang yang tentu dipikirkan. Segala kegalauan pun muncul, seperti
bagaimana izin dari keluarga dan tempat kerja. Namun hal itu ternyata tidak
harus berlangsung lama. Dari Mama dan keluarga yang mendukung untuk harus
lanjut ‘sekolah’ bahkan siap membantu secara finansial, sampai dipermudah
dengan ACC untuk boleh kuliah (lagi) oleh dokter direktur SDM. Sangat bersyukur
akan lingkungan keluarga dan tempat kerja yang sangat pro akan pendidikan
tinggi dengan tidak harus membuat keputusan untuk memilih satu diantaranya.
Sejak mulai kuliah perdana sampai semester 1 sekarang, tentang ‘banting setir’-nya saya dari perguruan tinggi negeri ke swasta, adalah sesuatu yang masih sering ditanyakan. Saya pun merespon dengan jawaban yang selalu sama: (1) di U*has tidak ada kelas sabtu-minggu sesuai tujuan kelas peminatan saya. (2) di kampus yang sekarang, dosen-dosen kampus sebelumnya banyak yang juga ngajar bahkan jadi pembimbing-penguji tesis, juga bapak ibu tetangga yang saya taunya adalah orangtua teman-teman saya yang ternyata jadi dosen baru saya juga sekarang. (3) saya ingin suasana kampus baru dengan orang-orang baru, dengan saya awalnya mendaftar disana tanpa saya mengajak teman-teman yang lain, toh nantinya akan punya teman akrab juga, malah bonusnya ketemu teman lama. (4) jarak rumah-kampus sekarang yang dekat, membuat saya gampang mengakses dengan transportasi apapun dengan bisa berangkat 5-10 menit sebelum jadwal kuliah tanpa terlambat, DAAANNN (5) pembayaran SPP yang bisa di-ci-cil. HEHEHE
Kerja-sambil-kuliah, adalah sebuah tantangan that how you are manage your time. Salah strategi atau kecolongan sedikit, imbasnya akan ke kesehatan diri kita sendiri. Dimana sistem imun akan menurun, kurang tidur, sampai tugas yang selesai tidak tepat waktu. Godaannya juga banyak, seperti dilema untuk harus masuk di tanggal merah yang di-hitamkan oleh pihak kampus, juga di hari Minggu pagi dengan dosen yang akan masuk ontime sambil dengan berat hati meninggalkan selimut yang masih hangat-hangatnya.
Kerja-sambil-kuliah, membuat saya belajar akan pentingnya kerja keras dalam mencari uang. Bagi saya, me-manage finansial dengan baik adalah sebuah ketidak-ahlian. Karena saya tipikal orang yang boros, maka kebiasaan ‘belanja di online shop dan jajan via ojek online’ harus dihilangkan dari sekarang. Sebenarnya untuk kuliah lagi, peluang saya untuk melanjutkan beasiswa dari S1 ke S2 itu: ada, tapi kemungkinannya sudah kecil. Saat kesempatan lagi besar-besarnya atau masa-masa freshgraduate, saat itu saya memilih untuk bekerja freelance di berbagai survey kesehatan, yang di saat bersamaan teman-teman lain malah kesana-kemari mengurus target untuk perguruan dalam negeri bahkan luar negeri. Entah kenapa saya tidak begitu excited dengan beasiswa itu, karena dari segala tetek bengek registrasinya saja sudah sangat rempong. Bisa jadi, jika memilih mengejar beasiswa saat itu, maka saya harus siap memilih kampus di luar Makassar dan jelas tidak ada lampu hijau dari keluarga. Maka untuk sebuah keputusan yang sudah diambil saat ini, saya mulai belajar betapa harus ikhlasnya merelakan gaji sepersekian persen untuk SPP (re: Sumbangan Pembinaan Pendidikan) yang nominalnya: fantastis!
Kerja-sambil-kuliah, bukan dengan tujuan untuk kenaikan pangkat seperti yang sempat ditanyakan oleh 1-2 orang. Dengan niat dalam hati, yah saya memang mau kejar ilmunya. Bukankah sesuatu yang kita jalani akan berasa bermanfaat jika kita bisa mendapatkan ilmu setiap hari?! Senior saya pernah bilang, kalau mau cari ilmu, tempatnya banyak, bisa seminar-seminar atau pelatihan saja. Tapi bagi saya, kalau kuliah/sekolah itu tetap beda, karena ilmu yang kita dapat akan continue dan bersifat terikat, lebih tepatnya ada kewajiban-kewajiban yang mengikatnya. Saat di kelas ada yang bertanya: “siapa yang ingin jadi dosen setelah selesai?” Saya hanya celingak-celinguk sambil menghitung beberapa teman yang angkat tangan, dengan sambil menjawab dalam hati: ”Profesi atau pekerjaan sebagai dosen memang keren, tapi wah saya mau tetap jadi nutrisionist saja deh”
Kesimpulan dari apa yang sudah saya jalani sampai hari ini, bahwa: Ada beberapa orang yang puas dengan pulang ke rumah yang sama setiap harinya, ngelakuin rutinitas yang itu-itu aja, ketemu orang-orang yang sama. Justru hanya dengan begitu mereka bisa berfungsi karena perubahan di sekitar udah terlalu banyak, dan mereka perlu sesuatu yang konstan buat berpegang. Begitulah Winna Efendi menyampaikannya dalam penggalan tulisan di salah satu novel karangannya, persis dengan seperti yang saya rasakan sekarang :’)
Ada yang bilang, akan dimudahkan urusannya oleh orang-orang yang ingin: sekolah, kuliah, menikah, ingin punya rumah sampai ingin punya anak. So, just do your best because Allah will do the rest. Selamat datang di sensasi hidup selanjutnya, Semangatttttt :)
Sejak mulai kuliah perdana sampai semester 1 sekarang, tentang ‘banting setir’-nya saya dari perguruan tinggi negeri ke swasta, adalah sesuatu yang masih sering ditanyakan. Saya pun merespon dengan jawaban yang selalu sama: (1) di U*has tidak ada kelas sabtu-minggu sesuai tujuan kelas peminatan saya. (2) di kampus yang sekarang, dosen-dosen kampus sebelumnya banyak yang juga ngajar bahkan jadi pembimbing-penguji tesis, juga bapak ibu tetangga yang saya taunya adalah orangtua teman-teman saya yang ternyata jadi dosen baru saya juga sekarang. (3) saya ingin suasana kampus baru dengan orang-orang baru, dengan saya awalnya mendaftar disana tanpa saya mengajak teman-teman yang lain, toh nantinya akan punya teman akrab juga, malah bonusnya ketemu teman lama. (4) jarak rumah-kampus sekarang yang dekat, membuat saya gampang mengakses dengan transportasi apapun dengan bisa berangkat 5-10 menit sebelum jadwal kuliah tanpa terlambat, DAAANNN (5) pembayaran SPP yang bisa di-ci-cil. HEHEHE
Kerja-sambil-kuliah, adalah sebuah tantangan that how you are manage your time. Salah strategi atau kecolongan sedikit, imbasnya akan ke kesehatan diri kita sendiri. Dimana sistem imun akan menurun, kurang tidur, sampai tugas yang selesai tidak tepat waktu. Godaannya juga banyak, seperti dilema untuk harus masuk di tanggal merah yang di-hitamkan oleh pihak kampus, juga di hari Minggu pagi dengan dosen yang akan masuk ontime sambil dengan berat hati meninggalkan selimut yang masih hangat-hangatnya.
Kerja-sambil-kuliah, membuat saya belajar akan pentingnya kerja keras dalam mencari uang. Bagi saya, me-manage finansial dengan baik adalah sebuah ketidak-ahlian. Karena saya tipikal orang yang boros, maka kebiasaan ‘belanja di online shop dan jajan via ojek online’ harus dihilangkan dari sekarang. Sebenarnya untuk kuliah lagi, peluang saya untuk melanjutkan beasiswa dari S1 ke S2 itu: ada, tapi kemungkinannya sudah kecil. Saat kesempatan lagi besar-besarnya atau masa-masa freshgraduate, saat itu saya memilih untuk bekerja freelance di berbagai survey kesehatan, yang di saat bersamaan teman-teman lain malah kesana-kemari mengurus target untuk perguruan dalam negeri bahkan luar negeri. Entah kenapa saya tidak begitu excited dengan beasiswa itu, karena dari segala tetek bengek registrasinya saja sudah sangat rempong. Bisa jadi, jika memilih mengejar beasiswa saat itu, maka saya harus siap memilih kampus di luar Makassar dan jelas tidak ada lampu hijau dari keluarga. Maka untuk sebuah keputusan yang sudah diambil saat ini, saya mulai belajar betapa harus ikhlasnya merelakan gaji sepersekian persen untuk SPP (re: Sumbangan Pembinaan Pendidikan) yang nominalnya: fantastis!
Kerja-sambil-kuliah, bukan dengan tujuan untuk kenaikan pangkat seperti yang sempat ditanyakan oleh 1-2 orang. Dengan niat dalam hati, yah saya memang mau kejar ilmunya. Bukankah sesuatu yang kita jalani akan berasa bermanfaat jika kita bisa mendapatkan ilmu setiap hari?! Senior saya pernah bilang, kalau mau cari ilmu, tempatnya banyak, bisa seminar-seminar atau pelatihan saja. Tapi bagi saya, kalau kuliah/sekolah itu tetap beda, karena ilmu yang kita dapat akan continue dan bersifat terikat, lebih tepatnya ada kewajiban-kewajiban yang mengikatnya. Saat di kelas ada yang bertanya: “siapa yang ingin jadi dosen setelah selesai?” Saya hanya celingak-celinguk sambil menghitung beberapa teman yang angkat tangan, dengan sambil menjawab dalam hati: ”Profesi atau pekerjaan sebagai dosen memang keren, tapi wah saya mau tetap jadi nutrisionist saja deh”
Kesimpulan dari apa yang sudah saya jalani sampai hari ini, bahwa: Ada beberapa orang yang puas dengan pulang ke rumah yang sama setiap harinya, ngelakuin rutinitas yang itu-itu aja, ketemu orang-orang yang sama. Justru hanya dengan begitu mereka bisa berfungsi karena perubahan di sekitar udah terlalu banyak, dan mereka perlu sesuatu yang konstan buat berpegang. Begitulah Winna Efendi menyampaikannya dalam penggalan tulisan di salah satu novel karangannya, persis dengan seperti yang saya rasakan sekarang :’)
Ada yang bilang, akan dimudahkan urusannya oleh orang-orang yang ingin: sekolah, kuliah, menikah, ingin punya rumah sampai ingin punya anak. So, just do your best because Allah will do the rest. Selamat datang di sensasi hidup selanjutnya, Semangatttttt :)
Semangatt ucii kuuu! Nikmati pilihanmu... ❤❤
BalasHapus