Menadah Berkah di Hujan Februari

Sesuai prediksi Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), intensitas hujan di kota Makassar masih akan mencapai puncaknya sampai Februari ini. Apalagi didukung oleh hari raya Imlek yang katanya akan selalu identik dengan: hujan.

Sampai hari ini, memang kondisi cuaca masih belum menunjukkan banyak perubahan. Buktinya, matahari yang masih memilih ‘mengalah’ dengan awan hitam, daun-daun pepohonan yang masih basah, serta sisi kiri-kanan jalan yang nampak oleh genangan air. Meski demikian, kondisi tersebut bukan penghalang untuk beraktivitas, baik bagi sebagian orang bahkan kebanyakan orang. 

Seperti pada pagi hari yang biasanya, saya selalu menggunakan akses transportasi motor online untuk berangkat ke tempat kerja jika tidak ada yang sempat mengantar, pun pada saat hujan. Pertimbangannya karena cost transportasi mobil online akan naik 3x lipat saat hujan. Selain itu juga untuk menghindari macet sejam-dua jam yang ujung-ujungnya tetap sulit membuat kita bisa sampai ontime ke tempat tujuan. Selama pakai APD hujan, saya pikir akan aman-aman saja. Oleh karenanya, saya selalu wajib sedia raincot sebelum hujan!

Nah, singkat cerita, di perjalanan pulang tadi (yang masih hujan), motor ojek online yang saya tumpangi berhenti di lampu merah Pettarani. Sambil menunggu lampu hijau on kembali, tiba-tiba ada seorang bapak dengan tanpa boncengan, berhenti tepat di samping motor kami setelah berusaha menyelip diantara mobil-mobil yang cukup padat. Bapak itu pun memulai menyapa dengan kalimat singkat: “betul-betul penderitaan, sudah hujan, baru macet lagi”. Sontak, sekilas saya bisa menangkap guratan kecil di jidat beliau. Dan saya hanya bisa merespon dengan anggukan kecil dan tersenyum di balik masker yang saya gunakan.

Sepanjang lanjutan perjalanan sore itu dan akhirnya tiba di rumah, saya merenungkan pendapat bapak tadi: hujan adalah penderitaan? Ah, saya kurang sepaham. Bagi saya, hujan itu rezeki, bahkan reminder bahwa berkah akan datang. Mungkin ada yang menimpali balik, lantas darimana berkahnya? Toh baju kita basah dan tangan-kaki kita kedinginan. Tapi perlu diingat, rejeki lantas tidak selalu dalam bentuk materi, bahkan bisa dalam bentuk tetesan air hujan sekalipun. Nah, apakah air dari hujan harus berubah menjadi uang dulu, sehingga kita baru mau bersyukur?! 

Be husnudzon, bisa saja setelah kehujanan, akan ada makanan hangat yang sudah tersaji di rumah. Plus punya waktu istrirahat dengan tempat yang nyaman dan layak, di saat orang-orang di luar sana masih harus bekerja. Jangan jauh-jauh deh, di lampu merah tadi, ada banyak anak-anak muda yang masih semangat menjajakan dagangan kerupuk dan tisue mereka di tengah guyuran hujan deras. Juga abang ojek-motor-online yang saya yakin setelah mengantar saya sampai rumah tadi, akan terus mencari penumpang baru lagi sampai mencapai target harian sebelum waktunya harus pulang menemui anak-istrinya.

Percayalah, hujan itu istimewa, apalagi Allah menjanjikan bahwa kondisi ini adalah salah satu waktu diijabahnya doa. Maka bacalah Allahumma shayyiban nafi’an, serta janganlah berkeluh kesah. Agar Allah turunkan hujan yang bermanfaat bersama nikmat yang telah diciptakan. Dengan sembari menadah berkah dari setiap tetesnya yang akan mengalir bersama aliran darah tubuh kita. Sampai pelangi yang indah muncul sebagai ‘hadiah’ nya :) 

Komentar