Selamat Malam Dari Pasar

Suara lantang seorang perempuan membuka pagi yang cerah diantara duka yang masih menyelimuti keluarga. Teriakan “bale…bale…” mengisyaratkan bahwa penjual ikan telah datang. Perempuan penjual ikan yang usianya kira-kira sama dengan ibu saya, tampak dengan semangat menjinjing sebuah baskom berukuran cukup besar berisi ikan-ikan jualan yang ditaruh di atas kepala dan dilapisi kain tebal sebagai alas. Tangan kanannya memegang sebuah ember kecil yang juga berisi ikan-ikan, serta tangan kirinya memegang dan memastikan bahwa baskom di atas kepalanya tetap aman.


“Tassiaga bale ta’, Bu?” (berapa harga ikan ta’, Bu?) Kata Mama memulai percakapan
“Duappulo lima se’bu, Puang” (dua puluh lima ribu, Puang)
“Manakko suli?” (kenapa mahal?) Tanya Mama dengan nada tidak bercanda
“Appakoro memang, Puang. Loki bale agae, Puang ?” (karena memang begitu, Puang. Mau ikan yang mana, Puang?) Jawab ibu penjual dengan senyum simpulnya
“Bale Cakalang na. Duo pulo sebbu na” (ikan cakalang. Dua puluh ribu saja)
“De na gene, Puang. Duappulo lima na, u tambakangki ce’de” (tidak cukup, Puang. Dua puluh lima ribu saja, nanti saya tambahkanki sedikit)

Begitulah suasana hangat Desa Bukaka, Kecamatan Tanete Riattang, Bone Sulawesi Selatan. Desa yang begitu ramah dengan kesederhanaan warganya. Sebagian besar dari mereka pun masih semangat mengais rejeki di balik lapak bahkan menjajakannya dari rumah ke rumah.

Percakapan ibu dan penjual ikan itu membuat saya berkesimpulan bahwa proses tawar menawar tetap berlaku. Namun jika tetap pada harga awal yang sudah ditetapkan penjual, maka si penjual harus bermurah hati untuk menambahkannya sedikit dari takaran jumlah yang sudah ditetapkan. Tapi melihat kerja keras perempuan paruh bayah yang menjajakan ikan segarnya, sebaiknya tak pantas untuk kita menawar.

Jarak pasar yang jauh dari rumah menjadi salah satu alasan orang-orang dirumah berbelanja di penjual keliling. Selain itu tidak perlu repot harus keluar rumah karena sudah mannessa (jelas/pasti) ada penjual yang akan keliling membawa jenis-jenis jualannya. Karena selain ikan, nampak pula penjual sayur dan kue menggandeng dagangannya, tidak dengan sepeda apalagi gerobak, mereka hanya bermodal kaki dan semangat.

Bagi yang tak ingin ke pasar disambut panas matahari yang semakin meninggi, tak ingin berinteraksi dengan bau khas pasar, plus ingin mendapatkan belanjaan yang lebih dari sebatas ikan, sayur dan kue dari penjual keliling, jawabannya ada di pasar malam.   

Sekilas, pasar malam di kota Bone cukup ramai, apalagi saat itu malam minggu, meskipun euforia pasarnya hanya diramaikan oleh suara lantunan musik dari penjual kaset karaoke dan permainan ‘odong-odong’ yang menjadi salah satu alternatif hiburan pengunjung anak-anak. Para pedagang pasar malam sudah mulai mempersiapkan lapak sekitar ba’da/selepas Ashar, dan memulai berjualan mulai ba’da/selepas Maghrib menjelang Isya. Aktivitas pasar malam yang buka tiap hari ini pun selesai sekira pukul 22.00 – 23.00 Wita. Tidak ada kesan negatif seperti orang berjudi sambil meneguk minuman keras  yang nampak di pasar ini.


Kurang lebih 300 meter jarak dari rumah ke lokasi pasar malam. Sekitaran 10-15 menit adalah waktu yang cukup untuk berjalan kaki ditemani angin di malam minggu saat itu. Dari kejauhan nampak lapak para pedagang berjejer rapi, mulai dari perlengkapan untuk anak-anak hingga dewasa, kebutuhan sekolah bahkan rumah tangga. Permen kapas, jajanan telur-telur, jagung rebus, sampai buah-buah musiman pun tak ketinggalan menjadi alternatif pengganjal perut untuk pengunjung yang menikmati sensasi malam di pasar. Berbeda dengan toko-toko yang biasa dijumpai di Makassar, para pedagang di pasar ini tidak menyapa pengunjung-pengunjung  yang berlalu lalang atau bahkan sekedar ingin melihat-lihat dengan kalimat ‘godaan’: singgahki cantik.


Beberapa teman asal Bone, ternyata juga punya pandangan yang sama tentang pasar malam ini.
 “Saya ke pasar malam kalau adaji mau ku beli” kata Silvy, 24 tahun, ana’ dara/gadis Bone yang sedang mengadu nasib di rantau
“Barang-barang di pasar malam murah-murah apalagi baju-bajunya” Ujar Inha, 23 tahun yang saat ini berprofesi sebagai mahasiswi S2.


Setelah melakukan survey langsung, memang barang-barang dagangan yang ditawarkan disana cocok untuk harga masyarakat kelas menengah ke bawah. Selain karena murah, kualitas barangnya pun tidak usah diragukan. Malam itu saya berhasil menawar 6 kaset karaoke yang sebenarnya 35.000,- rupiah menjadi 30.000,- rupiah. Sebuah hasil kesepakatan yang lumayan untuk pembeli yang belum mahir ilmu tawar menawar.


Sampai pada ujung lapak-lapak, jangan lupa mampir di seberang jalan untuk menikmati angin malam di salah satu ikon kota beradat ini, yaitu Lapangan Merdeka. Disaksikan oleh patung Arung Palakka yang tetap terlihat kokoh di bawah cahaya langit malam, masyarakat tumpah ruah di tempat ini, untuk berkumpul bersama keluarga dan bahkan bercengkarama bersama teman se-komunitas. Tak sedikit yang singgah hanya untuk duduk menikmati jajanan makanan jualan pasar. Dan jangan lupa jika mampir di tempat ini, sisihkan recehen untuk pengamen-pengamen jalanan.

Semoga pemandangan pasar akan terus menghiasi kota malam. Semoga para penjual/pedagang senantiasa diberi kesehatan dan semangat dalam mengais rejeki di tengah kerasnya kehidupan perdagangan. Semoga pembeli/pengunjung pasar terus mencintai produk lokal yang tidak dikalahkan dengan produk yang lebih menjanjikan dan teknologi jual beli yang mulai memanjakan.

Komentar